Ayah, Aku Rindu

Ayah bersama adik-adik di kampung ku


Sejak bulan lalu, rasanya begitu Rindu ingin bertemu dengan Ayah. Meski masih bisa mendengar suaranya melalui sambungan handphone. 

Menjawab kerinduan ini, Ahad 09 Oktober 2022 sehari setelah Maulid Nabi Muhammad SAW, Aku tancap gas motor menuju kampung halaman dimana aku dilahirkan.

Lebih kurang 12 KM perjalanan aku berhenti untuk menelpon Ayah, mengabarkan Aku pulang, karena hari sudah lewat pukul 5 sore, biasanya Ayah sholat maghrib berjamaah ke Masjid.

Sepeda motor ku laju tak begitu ngebut, namun juga tidak begitu pelan, yang sedang-sedang saja.

Ketika sampai di depan rumah, ternyata pagar sudah terkunci, matahari sudah terbenam, artinya Ayah sudah sampai ke Masjid.

Cuss, langsung gas menuju arah Masjid, beberapa orang di kampung ku yang sedang duduk di warung menyebutkan Ayah baru saja ke Masjid.

Sampai ke depan pagar Masjid,  Ayah  menghampiriku untuk memberi kunci rumah.

Waktu Maghrib yang sudah mau masuk, aku memilih untuk ikut sholat berjamaah.

Alhamdulillah masih bisa silaturahmi dengan  warga kampung ku yang masih sehat dan bugar melangkahkan kaki berjamaah bersama.

Usai sholat, Aku melihat adik-adik sudah menunggu Ayah untuk mengaji.

Aku menunda pulang, ingin melihat Ayah mengajar adik-adik mengaji.

Suasana itu aku rekam dan aku foto, mereka memulai dengan berdo'a. Meski sedikit terlambat mendokumentasikannya, namun ini menjadi momen bahagia dalam hidup, masih bisa menyaksikan Ayah mengajar.

Ayah yang sudah berumur 74 Tahun masih dalam keadaan sehat, masih bisa berinteraksi dengan anak-anak, mentransfer ilmu yang dia punya.

Tentu masih banyak yang ilmunya diatas beliau. Semoga apa yang dilakukan Ayah ini menjadi pahala, dan bisa menjadikan Ayah tenang dalam pikiran, sehat jasmani & rohani. 

Sehingga enjoy dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Setelah mengabadikan momen itu, aku pamit pulang lebih dahulu menuju rumah. 

Kemudian meletakkan tas ransel, menyalin nasi dan memindahkan gulai ayam kampung titipan kakak perempuan ku ke dalam mangkok.

Aku menanti Ayah pulang, ingin menikmati makan berdua, dimana Mak, Istri & anak ku Bilqis sedang berada di Batam menghadiri acara ngunduh mantu adik sepupu ku.

Setelah sholat Isya, momen makan berdua akhirnya bisa dinikmati. Selanjutnya aku membuat Teh hangat & membuka wafer yang aku bawa untuk menemani obrolan berdua Ayah.

Tampaknya Ayah sudah ingin istirahat, ditambah hujan deras dan mati lampu, Ayah berbaring dikasur depan TV.

Aku tahu ayah pasti lelah, tapi tidak ada lagi suara keluar dari mulutnya untuk menyuruhku memijit kaki seperti masa kecil ku dulu.

Kaki ku meniti diatas tubuh Ayah hingga betis yang lelah setelah berkerja, masih terekam jelas dalam benakku disaat aku masih kecil dulu.

Malam ini aku langsung menawarkan diri dan menuju kaki Ayah sebelah kanan. Seperti biasa, Ayah selalu sediakan minyak urut atau yang lebih sering Ayah sebut minyak angat.

Waktu itu pukul 21.30 WIB, tangan ku mulai menumpahkan minyak angat dibetis Ayah. Sambil aku mencoba memulai obrolan.

Sesekali Ayah menjerit ringan karena berasa sakit dibagian tertentu yang aku pijit.

Lebih kurang 10 menit berlalu, Ayah berucap "kalo kan litak, jadilah," (kalau kamu capek, jadilah alias sudahlah).

Ketika masa kecil dulu, ucapan seperti ini adalah yang ditunggu. Sangat senang bisa  main lagi. 

Kala itu, Rasanya mijit Ayah adalah hal yang melelahkan. Namun tidak untuk saat ini, aku menolak berhenti dan terus memijit sampai ke kaki Ayah sebelah Kiri.

Setelah kedua kaki, rasanya masih kurang. Aku coba menawarkan memijit tangan Ayah. 

Ayah tidak menolak, minyak angat kembali aku usap ke bagian tangan hingga lengan tangan kanan.

Ayah mulai merem melek, kadang tertidur, kadang terbangun karena bagian urat yang sakit tersentuh oleh pijitanku.

Lampu tak kunjung hidup, kami diterangi oleh pijar senter yang menggantikan posisi lampu cas yang sudah habis baterai.

Rintik hujan deras terus turun membasahi bumi, semoga tanaman padi petani  dikampung ku yang sedang tumbuh jadi bahagia.

Aku berdo'a dalam hati, untuk Ayah ku. Dan kembali mensyukuri atas Rahmat dan karunia dari Allah SWT Tuhanku yang telah memberikan hari spesial ini.

Saat pijatanku berada ditangan kiri Ayah, dirinya sudah mulai tidur memasuki zona yang hampir pulas.

Pijatan pun berakhir dengan waktu lebih dari 1 jam.

Belum cukup tentunya waktu itu membayar lelah Ayah yang telah berjuang menjadi Super Hero bagi ku.

Belum ada apa-apanya wafer yang aku bawa untuk menggantikan jerih payah keringat Ayah dalam hidupku.

Terima kasih Ayah atas perjuangan mu. 

Ayah tak seberuntung diriku, yang masih bisa bercengkrama dengan Ayah sampai aku berkeluarga.

Dimana Datuk ku lebih dulu wafat pada
Tahun 1961 meninggalkan nyai (nenek) ku dan anak-anaknya.

Menurut cerita Ayah, saat itu usianya 13 Tahun, baru tamat Sekolah Dasar (SD).

Ayah juga bercerita semasa kecil Ayah hoby bermain sepakbola, Volly dan termasuk anak yang jago badminton.

Hoby itu masih dilakoni sampai Ayah berumah tangga. Ayah termasuk Pria yang tangguh, sudah meminang pujaan hatinya di usia 22 Tahun.

Sepeninggalan Datuk, Ayah berkeinginan melanjutkan sekolah ke Jambi.

Keinginan itu, didukung oleh keluarga, terutama nyai ku. Ayah akhirnya sekolah mengaji di pesantren Nurul Iman, ulu gedong, Jambi seberang.

Ayah berangkat melalui jalur sungai Batanghari menaiki rakit menuju Jambi seberang.

Disanalah Ayah mendapatkan banyak pengalaman hidup, dan belajar berwirausaha.

"Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu". Lirik lagu Iwan fans ini menjadi gambaran kecil perjuangan dirinya yang ingin sekolah.

Menurut informasi dari beberapa sumber, Ayah adalah anak yang cerdas dan cukup punya jiwa pemimpin. 

Berdasarkan sejarah, Ayah pernah menjabat Kepala Desa. 

Di pesantren Nurul Iman ini, Ayah tidak sampai tamat, tentu ada beberapa faktor akan hal itu.

Bekal mengaji itulah yang Ayah bawa dalam kehidupannya. 

I'm proud dad, semoga selalu rendah hati dan menjadi Ayah yang selalu peduli.

Maafkan Aku yang masih belum banyak berbuat untuk mu. 

Tidak pernah tahu, kapan ajal akan menjemput, dan siapa yang lebih dulu dihampiri oleh malaikat izrail.

Kita hanya bisa berusaha setiap waktu untuk mempersiapkan diri. Semoga Aku dan Ayah meninggal dengan Husnul Khotimah. Aamiin.

Momen berdua Ayah dikala diri ini beranjak dewasa, merupakan hal yang jarang, tamat SD aku melanjutkan SMP di Kota Jambi.

Tak terasa tulisan ini cukup panjang juga ya, dan air mata yang mau keluar ketika jemari tangan mengetik tulisan ini akhirnya berhasil aku tahan.

Ayah, Aku Rindu.

Masih berharap banyak momen bisa kita lalui, bercengkrama menikmati hangatnya Teh kesukaan Ayah.

I Luv u my father.

Sekarang Aku sudah menjadi seorang Ayah, masih berproses belajar menata hidup, bagaikan seorang bayi yang mulai belajar merangkak, berjalan terjatuh namun terus berusaha tiada henti, meski terkadang ada rasa sakit menghampiri.

Semoga pula, rasa bangga & hormat kepada Ayah ini, bisa Aku lakukan terhadap Ayah mertua. 

Bisa menjawab Rindu Istri ku kepada Papa, yang lebih jauh jarak tempuhnya daripada jarak tempuh ke rumah Ayah.

Do'a yang kami panjatkan untuk papa sekeluarga. Sehat dan tenang pikiran dalam menjalankan aktivitas.

Semoga kita semua, bisa saling mendo'akan dan menempatkan Ikhlas di dalam hati sebagai seorang Ayah.

Ikhlas menahan rindu,
Ikhlas memanjatkan Do'a.

Alfatiha untuk Datukku H. Abu Bakar


 اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (1)
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ (2)
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (3)
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (7)



Piss.












Post a Comment

0 Comments